Kamis, 12 Maret 2009

Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Oleh: SITI MAROAH AZAHRA


Lingkungan tempat manusia hidup, menurut Amsyari (1986) dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, meliputi:

1.      Lingkungan fisik (physical enviroment), yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk “benda mati” seperti rumah, kendaraan, udara, air, dan lain sebagainya.

2.      Lingkungan biologis (biological enviroment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri. Misalnya hewan dan tumbuh-tumbuhan.

3.      Lingkungan sosial (social enviroment), yaitu manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, seperti tetangga, teman-teman dan juga orang-orang lain di sekitarnya yang belum dikenal.

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mempunyai hubungan erat dengan ke tiga hubungan tersebut. Manusia berhubungan dengan sesamanya sebagai makhluk sosial, manusia juga mempunyai hubungan dengan hewan, tumbuhan, air, udara dan dengan unsur-unsur lain di dunia ini baik yang bersifat materil maupun immateril, yang hidup maupun yang tidak hidup. Interrelasi ini yang membentuk suatu sistem yang lazim disebut sebagai ekosistem.

Menurut Siahaan (1987) manusia merupakan makhluk yang dominan dan banyak menentukan corak kehidupan ekosistem. Manusia dapat menaklukkan ekosistem alamiah yang satu dengan yang lain. Manusia menjelajah ke seluruh bagian ekosistem bumi yang terdapat di jagat raya. Ia dapat membuat ekosistem di banyak tempat di bumi, seperti gedung-gedung kawasan industri, pemukiman, kota, desa, dan sebagainya. Selain menciptakan ekosistem yang bersifat fisik, manusia juga mampu menciptakan ekosistem nonfisik dalam berbagai corak.

Senada dengan itu, Koesnadi Hardjasoemantri (1990) menyebut dua bentuk ekosistem yang penting. Pertama, ekosistem alamiah (natural ecosystem) yang di dalamnya terdapat heterogenitas tinggi dari organisme hidup sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya dengan sendirinya. Kedua, ekosistem buatan (artificial ecosystem) yang merupakan hasil kerja manusia sendiri yang mempunyai ciri kurang heterogenitasnya dan bersifat labil sehingga diperlukan usaha manusia untuk merawat ekosistem ini agar tetap stabil.

Dalam hubungan itu, Hamdan (2000) menilai bahwa berapa pun macam dan bentuk ekosistem yang terpenting adalah bagaimana menciptakan dan memelihara keserasian serta keseimbangan dari lingkungan tersebut agar tidak menimbulkan masalah-masalah lingkungan. Suatu lingkungan hidup dikatakan dalam keadaan serasi jika interaksi manusia dengan berbagai komponen lingkungan lainnya berada dalam batas-batas keseimbangan. Sebaliknya, apabila timbul ketergangguan interaksi manusia dengan lingkungan disebabkan batas-batas kemampuan salah satu komponen lingkungan sudah terlampaui, maka lingkungan sudah tidak serasi dan tidak seimbang lagi. Dalam kondisi seperti inilah akan timbul masalah lingkungan.

Emil Salim (1991) menyoroti masalah lingkungan dengan mengaitkannya pada dua hal. Pertama, perkembangan teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga menimbulkan gangguan pada kelestarian lingkungan hidup. Kedua, ledakan penduduk yakni pertambahan penduduk yang melebihi batas kewajaran. Pertambahan manusia dalam ruang lingkup yang berlebih akan menimbulkan goncangan keseimbangan lingkungan hidup.

Sementara itu, Hardjasoemantri (1990) menghubungkan masalah lingkungan dengan aktivitas pembangunan. Menurutnya, pembangunan dapat menimbulkan risiko-risiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan. Cara pandang manusia yang keliru terhadap sumber daya alam seringkali menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Persepsi yang reduksionis dan eksploitatif, misalnya, melihat sumber daya alam tidak lebih dari komoditas ekonomi. Maka muncullah sejumlah agenda pembangunan yang di satu sisi begitu produktif menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun di sisi yang lain mengabaikan kelestarian lingkungan.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengharmoniskan aktivitas pembangunan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan ? Benarkah Pembangunan Berkelanjutan dapat menjadi jawaban ? Bagaimana wacana Pembangunan Berkelanjutan dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia ? Bagaimana pula masyarakat mengambil peran dalam pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan ke depan ? Beberapa hal inilah yang akan dicoba dielaborasi dan dideskripsikan dalam tulisan ini.

 

Pembangunan Berkelanjutan sebagai Jawaban

Pakar lingkungan hidup, Otto Soemarwoto (2003) menyebutkan bahwa wacana Pembangunan Berkelanjutan bermula dari  forum Konferensi Dunia tentang Lingkungan Hidup (United Nation Conference on the Human Environment) di Stokholm yang digagas PBB pada tahun 1972. Menurutnya, konsep ini lahir setelah dunia mengalami degradasi atau kerusakan lingkungan yang berjalan sangat cepat. Pada tahap persiapan Konferensi Stokholm muncullah kritik dari negara dunia ketiga bahwa kerusakan lingkungan hidup di dunia ini disebabkan oleh kurangnya pembangunan (underdevelopment). Sebaliknya, di negara maju disebabkan karena terlalu banyak pembangunan (overdevelopment). Oleh karena itu, masalah lingkungan hidup di dunia ketiga harus diatasi oleh pembangunan. Pembangunan itu harus bersifat berwawasan lingkungan hidup yang pada waktu persiapan Konferensi Stokholm disebut ecodevelopment.

Lebih rinci, Soemarwoto menjelaskan bahwa isu pembangunan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup terus bergulir. Untuk itu, PBB membentuk sebuah badan yang disebut World Commission on Environment and Development (WCED, Komisi Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembangunan). Dalam tahun 1987, WCED membuat laporannya yang berjudul Our Common Future  (Hari Depan Kita Bersama). Dalam laporan ini diangkat isu Pembangunan Berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

Untuk mencapai tujuan itu, masyarakat dunia dengan difasilitasi PBB menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development --WSSD). Acara yang digelar di Johannesburg 26 Agustus hingga 4 September 2002 itu merupakan kelanjutan dari Earth Summit sebelumnya yang digelar di Rio de Janeiro pada tahun 1992.  WSSD bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana Negara peserta Earth Summit Rio de Janeiro itu mempunyai komitmen untuk melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan sesuai dengan Agenda 21 yang merupakan “Deklarasi Rio” sekaligus sebagai blue print dalam pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan.

            Sebagai negara yang turut dalam forum WSSD, Indonesia telah berupaya mengimplementasikan komitmen global tentang Pembangunan Berkelanjutan dengan disusunnya Agenda 21 nasional. Selain itu, dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan pula komitmen bangsa Indonesia untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya Pembangunan Berkelanjutan. UU No.23/1997 ini juga menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang sesuai. Keseriusan komitmen pemerintah untuk meng-implementasikan Pembangunan Berkelanjutan, bahkan, lebih nyata lagi dengan digelarnya Indonesia Summit on Sustainable Development (ISSD) 21 Januari 2004 di Yogyakarta.

Menurut Nebiel Makarim, ISSD merupakan kesepakatan nasional bangsa Indonesia untuk mewujudkan komitmen global terhadap pelestarian lingkungan secara signifikan. Poin terpenting yang dihasilkan ISSD adalah kesepakatan nasional dan rencana tindak Pembangunan Berkelanjutan. Kesepakatan nasional yang ditandatangani di Yogyakarta 21 Januari 2004 ini berisi sepuluh pokok pikiran.

Pertama, membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera serta sadar akan pentingnya harkat kemanusiaan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional serta selaras dengan Deklarasi Rio de Janeiro dan Agenda 21, Piagam Bumi, Millenium Development Goals (MDG), Deklarasi dan Program Aksi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan.

Kedua, mengintegrasikan prinsip Pembangunan Berkelanjutan seperti yang tertuang dalam program aksi Johannesburg ke dalam strategi dan program pembangunan nasional jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang di setiap sektor pada tingkat lokal dan nasional.

Ketiga, melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain.

Keempat, melanjutkan proses reformasi antara lain untuk meningkatkan kemandirian bangsa, melaksanakan otonomi daerah, menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan, mewujudkan stabilitas nasional, membangun tatanan kemasyarakatan yang demokratis, meningkatkan sumber daya manusia yang handal, menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengembangkan dan memanfaatkan komunikasi dan informasi, menjamin kepastian dan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan serta menjamin hak asasi manusia dan persamaan hak bagi setiap warga negara yang merupakan prakondisi dalam mewujudkan tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Kelima, menyelenggarakan kepemerintahan yang baik (good governance), penurunan tingkat kemiskinan, pengelolaan sumber daya air, energi dan sumber daya mineral, kesehatan, pertanian dan keragaman hayati, penataan ruang, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan pendidikan serta pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, maupun pendanaan dan kelembagaan yang merupakan dimensi utama dalam menuju keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan.

Keenam, meningkatkan kemandirian nasional melalui kerjasama kemitraan berdasarkan prioritas nasional dan peran penting para pemangku kepentingan sesuai dengan fungsinya dengan menyadari bahwa Pembangunan Berkelanjutan memerlukan perspektif jangka panjang dan partisipasi masyarakat luas dalam proses pengambilan keputusan di semua tingkatan.

Ketujuh, menjamin bahwa kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam serta keanekaragaman budaya, tetap sebagai perekat bangsa dan modal dasar yang utama bagi tercapainya tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Kedelapan, menurunkan tingkat kemiskinan, mengubah pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan serta mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan untuk mewujudkan keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan yang harus dilaksanakan melalui kepemerintahan yang baik.

Kesembilan,  mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang terdidik dan cerdas, serta memiliki integritas moral dan berkualitas secara merata agar dapat mengerti, memahami dan melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan.

Kesepuluh, mewujudkan komitmen ini dalam pencapaian rencana pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat, khususnya kelompok-kelompok perempuan, pemuda, anak-anak dan kaum rentan.    

Namun demikian, kesepuluh pokok pikiran tersebut masih merupakan idealitas normatif. Dalam tataran realitas objektifnya, bangsa kita masih dihadapkan pada sejumlah masalah lingkungan yang amat pelik. Dalam Enviromental Outlook-nya, Walhi mencatat kasus-kasus lingkungan hidup yang menonjol. Pertama,  masalah kerusakan hutan, seperti kebakaran hutan dan penebangan kayu secara liar (illegal logging) baik dalam skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun skala besar yang dilakukan kalangan industri. Indonesia mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia. Selama periode 1999-2002, laju deforestasi rata-rata 2,1 juta ha/tahun dan saat ini meningkat menjadi 2,4 juta ha/tahun.

Kedua, masalah pertambangan yang menimbulkan berbagai kontroversi, seperti pertambangan emas PT. Freeport yang hingga kini masih menyisakan sejumlah masalah. Demikian pula PT. KEM (Kelian Equatorial Mining) di Kalimantan Timur dan PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara. Perusahaan ini dinilai gagal dalam melakukan pengelolaan tailing sehingga berbuntut sengketa dengan masyarakat setempat seperti pada kasus Buyat.

Ketiga, carut-marutnya pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah sebagai “efek domino” otonomi daerah yang salah kaprah. Namun yang lebih menonjol dalam kaitannya dengan otonomi daerah adalah maraknya perizinan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Dengan dalih kebijakan lokal, “pengkaplingan” hutan seperti ini masih berlangsung hingga kini. Di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, bahkan seorang pejabat bupati telah mengeluarkan sedikitnya 300 izin HPH skala kecil. 

Keempat, pencemaran, baik pencemaran udara maupun pencemaran air. Pencemaran udara dan air menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pencemaran udara umumnya disebabkan oleh emisi buangan kendaraan bermotor. Peningkatan penjualan kendaraan bermotor pada tahun 1999 mencapai 91%, sedangkan pada tahun 2002 mencapai 300%. Dengan sendirinya hal ini akan memberi kontribusi terhadap peningkatan pencemaran udara secara tajam.

Kelima, krisis air yang ditandai dengan menurunnya kualitas dan kuantitasnya. Krisis air kini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat perkotaan, tapi juga oleh masyarakat yang hidup di pedesaan. Pencemaran air akan terus meningkat terutama akibat meningkatnya aktivitas pertambangan dan memburuknya penataan ruang sebagai konsekuensi salah kelola (mis-manajemen) lahan perkebunan dan gagalnya konservasi hutan.

Emil Salim (2001) menilai bahwa sejatinya persoalan-persoalan lingkungan yang amat pelik itu tidak akan terjadi apabila kita melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan secara konsisten. Menurutnya, ada beberapa prasyarat agar sustainabilitas pembangunan berlanjut. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita menyiapkan solusi alternatif yang komprehensif agar konsep ideal Pembangunan Berkelanjutan itu (das sollen) mampu diimplementasikan dalam tataran realitas objektifnya (das sein) secara semestinya. 

 

Beberapa Solusi ke Depan

Ketika Agenda 21 dideklarasikan pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro, banyak pihak berharap persoalan lingkungan hidup akan terselesaikan. Indonesia sebagai salah satu dari 179 negara yang menyetujui “Deklarasi Rio” ini juga berharap untuk dapat mengimplementasikan Pembangunan Berkelanjutan secara signifikan. Untuk merealisasikan harapan ini, ada beberapa hal yang penting diupayakan.

 

 

1. Konsistensi

Meskipun komitmen Rio telah membersitkan harapan dunia bagi perbaikan lingkungan hidup, namun pada kenyataaannya, kerusakan lingkungan hampir tak tertahankan. Di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara belahan dunia ketiga, kerusakan lingkungan terus berlanjut dan diiringi dengan angka kemiskinan yang terus meningkat. Dalam level nasional, Alikodra (2004) menyebutkan fakta kerusakan alam di Indonesia yang semakin mencengangkan. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan lebih dari 2,5 juta ha, sementara terumbu karang yang tersisa dalam katagori baik hanya tinggal 6,2%. Penyusutan spesies terus berlangsung karena pemburuan dan perusakan habitat mereka. Pertumbuhan penduduk dunia diprediksi akan terus meningkat dari 6,1 miliar jiwa pada tahun 2000 menjadi 7,5 miliar orang pada tahun 2020. Sebagian besar mereka tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk Indonesia, misalnya, saat ini telah mencapai sekitar 220 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk ini akan diikuti pula dengan meningkatnya konsumsi. Ini semua berarti peluang terjadinya peningkatan degradasi dan pencemaran lingkungan makin besar pula.

Ironisnya, ditemukan pula kenyataan bahwa negara-negara maju yang mengklaim dirinya sebagai penganjur deklarasi “pembangunan hijau” dan “donatur lingkungan hidup” itu justru banyak terlibat dalam perusakan lingkungan hidup lewat kegiatan eksplorasinya di negara-negara berkembang. Beberapa kasus, seperti Freeport di Papua, Newmont di Minahasa-Sulawesi Utara, dan Unocal di Kalimantan Timur memperlihatkan secara jelas peran “tangan-tangan asing” dalam perusakan lingkungan di tanah air. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita untuk berkomitmen secara konsisten terhadap Pembangunan Berkelanjutan. Lebih dari itu, bangsa Indonesia juga harus punya sikap yang tegas untuk memaksa pihak lain --terutama negara-negara maju yang melakukan investasinya di Indonesia--  agar memiliki konsistensi yang sama untuk melaksanakan kesepakatan global tentang  Pembangunan Berkelanjutan secara signifikan.

 

2. Sosialisasi

            Meskipun konsep Pembangunan Berkelanjutan telah dikumandangkan sejak tahun 1980-an, namun gaungnya belum begitu menggembirakan. Wacana Pembangunan Berkelanjutan seakan tersimpan di laci para elit birokrat dan aktivis lingkungan hidup semata. Di kalangan DPR pun, bahkan, wacana mengenai Pembangunan Berkelanjutan masih terdengar asing. Kecuali di Komisi VIII yang membawahi masalah lingkungan hidup, anggota DPR lain hampir tak peduli dengan wacana Pembangunan Berkelanjutan yang sudah menjadi kebijakan nasional ini. Tak heran jika banyak pihak menilai bahwa apresiasi kalangan legislatif terhadap persoalan lingkungan hidup sangat mengecewakan.

            Kalau wakil rakyat yang terhormat saja banyak yang tak peduli dan tak mengerti soal Pembangunan Berkelanjutan, apalagi di kalangan rakyat kebanyakan. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai Pembangunan Berkelanjutan tentu akan berimplikasi pada kualitas hasil yang diharapkan. Dengan kata lain, keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan akan sangat tergantung pada sejauh mana masyarakat memahami konsep ini secara baik. Karena itu, upaya sosialisasi merupakan kata kunci bagi keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan. Dengan sosialisasi yang baik, Pembangunan Berkelanjutan tidak hanya menjadi milik KLH dan aktivis lingkungan hidup semata, tapi seluruh masyarakat akan merasa memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya. 

 

 

3. Partisipasi

Untuk mengimplementasikan kesepakatan global mengenai Pembangunan Berkelanjutan yang termuat dalam Agenda 21, pemerintah Indonesia telah menyusun Agenda 21 nasional dengan memposisikan KLH sebagai institusi induk dalam pengelolaannya. Namun ironisnya, KLH sebagai pengemban implementasi Pembangunan Berkelanjutan terkesan sangat parsial. Ini paling tidak dapat disimak dari dua hal. Pertama, bergesernya universalitas isu Agenda 21 menjadi ‘isu sempit’ yang terbatas pada masalah lingkungan hidup an sich. Kedua, miskinnya partisipasi publik yang dicirikan oleh dominannya peran pemerintah dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan Pembangunan Berkelanjutan. Melalui KLH, negara seolah ingin merebut wacana Pembangunan Berkelanjutan dari ruang publik ke ruang dominasinya.    

Peran yang dijalankan KLH di satu sisi memang memperlihatkan komitmen kuat pemerintah Indonesia terhadap persoalan lingkungan hidup sebagai salah satu elemen vital Pembangunan Berkelanjutan. Namun demikian, memposisikan Pembangunan Berkelanjutan [hanya] dalam lingkup koordinasi KLH seolah mendistorsi orientasi Pembangunan Berkelanjutan pada persoalan environmental dan ecological dimension semata. Padahal, secara inklusif, Pembangunan Berkelanjutan juga memuat economic sustainability dan social sustainability secara terintegrasi. Karena itu, sudah selayaknya pemerintah membuka ruang partisipasi yang luas agar pihak-pihak lain seperti kalangan LSM, akademisi, pegiat lingkungan, dan masyarakat umum lainnya untuk turut merancang konsep dan implementasi Pembangunan Berkelanjutan secara bottom-up.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar