Minggu, 15 Maret 2009

Perilaku menyimpang



Perilaku menyimpang secara sosiologis diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif.

Kamis, 12 Maret 2009

Proses KBM di sekolah kami



Ini sebagian dari episode Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) 
di kampus kami tercinta: SMA Negeri 1 Banjar, Jabar. 

Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Oleh: SITI MAROAH AZAHRA


Lingkungan tempat manusia hidup, menurut Amsyari (1986) dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, meliputi:

1.      Lingkungan fisik (physical enviroment), yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk “benda mati” seperti rumah, kendaraan, udara, air, dan lain sebagainya.

2.      Lingkungan biologis (biological enviroment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri. Misalnya hewan dan tumbuh-tumbuhan.

3.      Lingkungan sosial (social enviroment), yaitu manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, seperti tetangga, teman-teman dan juga orang-orang lain di sekitarnya yang belum dikenal.

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mempunyai hubungan erat dengan ke tiga hubungan tersebut. Manusia berhubungan dengan sesamanya sebagai makhluk sosial, manusia juga mempunyai hubungan dengan hewan, tumbuhan, air, udara dan dengan unsur-unsur lain di dunia ini baik yang bersifat materil maupun immateril, yang hidup maupun yang tidak hidup. Interrelasi ini yang membentuk suatu sistem yang lazim disebut sebagai ekosistem.

Menurut Siahaan (1987) manusia merupakan makhluk yang dominan dan banyak menentukan corak kehidupan ekosistem. Manusia dapat menaklukkan ekosistem alamiah yang satu dengan yang lain. Manusia menjelajah ke seluruh bagian ekosistem bumi yang terdapat di jagat raya. Ia dapat membuat ekosistem di banyak tempat di bumi, seperti gedung-gedung kawasan industri, pemukiman, kota, desa, dan sebagainya. Selain menciptakan ekosistem yang bersifat fisik, manusia juga mampu menciptakan ekosistem nonfisik dalam berbagai corak.

Senada dengan itu, Koesnadi Hardjasoemantri (1990) menyebut dua bentuk ekosistem yang penting. Pertama, ekosistem alamiah (natural ecosystem) yang di dalamnya terdapat heterogenitas tinggi dari organisme hidup sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya dengan sendirinya. Kedua, ekosistem buatan (artificial ecosystem) yang merupakan hasil kerja manusia sendiri yang mempunyai ciri kurang heterogenitasnya dan bersifat labil sehingga diperlukan usaha manusia untuk merawat ekosistem ini agar tetap stabil.

Dalam hubungan itu, Hamdan (2000) menilai bahwa berapa pun macam dan bentuk ekosistem yang terpenting adalah bagaimana menciptakan dan memelihara keserasian serta keseimbangan dari lingkungan tersebut agar tidak menimbulkan masalah-masalah lingkungan. Suatu lingkungan hidup dikatakan dalam keadaan serasi jika interaksi manusia dengan berbagai komponen lingkungan lainnya berada dalam batas-batas keseimbangan. Sebaliknya, apabila timbul ketergangguan interaksi manusia dengan lingkungan disebabkan batas-batas kemampuan salah satu komponen lingkungan sudah terlampaui, maka lingkungan sudah tidak serasi dan tidak seimbang lagi. Dalam kondisi seperti inilah akan timbul masalah lingkungan.

Emil Salim (1991) menyoroti masalah lingkungan dengan mengaitkannya pada dua hal. Pertama, perkembangan teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga menimbulkan gangguan pada kelestarian lingkungan hidup. Kedua, ledakan penduduk yakni pertambahan penduduk yang melebihi batas kewajaran. Pertambahan manusia dalam ruang lingkup yang berlebih akan menimbulkan goncangan keseimbangan lingkungan hidup.

Sementara itu, Hardjasoemantri (1990) menghubungkan masalah lingkungan dengan aktivitas pembangunan. Menurutnya, pembangunan dapat menimbulkan risiko-risiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan. Cara pandang manusia yang keliru terhadap sumber daya alam seringkali menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Persepsi yang reduksionis dan eksploitatif, misalnya, melihat sumber daya alam tidak lebih dari komoditas ekonomi. Maka muncullah sejumlah agenda pembangunan yang di satu sisi begitu produktif menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun di sisi yang lain mengabaikan kelestarian lingkungan.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengharmoniskan aktivitas pembangunan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan ? Benarkah Pembangunan Berkelanjutan dapat menjadi jawaban ? Bagaimana wacana Pembangunan Berkelanjutan dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia ? Bagaimana pula masyarakat mengambil peran dalam pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan ke depan ? Beberapa hal inilah yang akan dicoba dielaborasi dan dideskripsikan dalam tulisan ini.

 

Pembangunan Berkelanjutan sebagai Jawaban

Pakar lingkungan hidup, Otto Soemarwoto (2003) menyebutkan bahwa wacana Pembangunan Berkelanjutan bermula dari  forum Konferensi Dunia tentang Lingkungan Hidup (United Nation Conference on the Human Environment) di Stokholm yang digagas PBB pada tahun 1972. Menurutnya, konsep ini lahir setelah dunia mengalami degradasi atau kerusakan lingkungan yang berjalan sangat cepat. Pada tahap persiapan Konferensi Stokholm muncullah kritik dari negara dunia ketiga bahwa kerusakan lingkungan hidup di dunia ini disebabkan oleh kurangnya pembangunan (underdevelopment). Sebaliknya, di negara maju disebabkan karena terlalu banyak pembangunan (overdevelopment). Oleh karena itu, masalah lingkungan hidup di dunia ketiga harus diatasi oleh pembangunan. Pembangunan itu harus bersifat berwawasan lingkungan hidup yang pada waktu persiapan Konferensi Stokholm disebut ecodevelopment.

Lebih rinci, Soemarwoto menjelaskan bahwa isu pembangunan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup terus bergulir. Untuk itu, PBB membentuk sebuah badan yang disebut World Commission on Environment and Development (WCED, Komisi Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembangunan). Dalam tahun 1987, WCED membuat laporannya yang berjudul Our Common Future  (Hari Depan Kita Bersama). Dalam laporan ini diangkat isu Pembangunan Berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

Untuk mencapai tujuan itu, masyarakat dunia dengan difasilitasi PBB menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development --WSSD). Acara yang digelar di Johannesburg 26 Agustus hingga 4 September 2002 itu merupakan kelanjutan dari Earth Summit sebelumnya yang digelar di Rio de Janeiro pada tahun 1992.  WSSD bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana Negara peserta Earth Summit Rio de Janeiro itu mempunyai komitmen untuk melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan sesuai dengan Agenda 21 yang merupakan “Deklarasi Rio” sekaligus sebagai blue print dalam pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan.

            Sebagai negara yang turut dalam forum WSSD, Indonesia telah berupaya mengimplementasikan komitmen global tentang Pembangunan Berkelanjutan dengan disusunnya Agenda 21 nasional. Selain itu, dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan pula komitmen bangsa Indonesia untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya Pembangunan Berkelanjutan. UU No.23/1997 ini juga menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang sesuai. Keseriusan komitmen pemerintah untuk meng-implementasikan Pembangunan Berkelanjutan, bahkan, lebih nyata lagi dengan digelarnya Indonesia Summit on Sustainable Development (ISSD) 21 Januari 2004 di Yogyakarta.

Menurut Nebiel Makarim, ISSD merupakan kesepakatan nasional bangsa Indonesia untuk mewujudkan komitmen global terhadap pelestarian lingkungan secara signifikan. Poin terpenting yang dihasilkan ISSD adalah kesepakatan nasional dan rencana tindak Pembangunan Berkelanjutan. Kesepakatan nasional yang ditandatangani di Yogyakarta 21 Januari 2004 ini berisi sepuluh pokok pikiran.

Pertama, membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera serta sadar akan pentingnya harkat kemanusiaan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional serta selaras dengan Deklarasi Rio de Janeiro dan Agenda 21, Piagam Bumi, Millenium Development Goals (MDG), Deklarasi dan Program Aksi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan.

Kedua, mengintegrasikan prinsip Pembangunan Berkelanjutan seperti yang tertuang dalam program aksi Johannesburg ke dalam strategi dan program pembangunan nasional jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang di setiap sektor pada tingkat lokal dan nasional.

Ketiga, melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain.

Keempat, melanjutkan proses reformasi antara lain untuk meningkatkan kemandirian bangsa, melaksanakan otonomi daerah, menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan, mewujudkan stabilitas nasional, membangun tatanan kemasyarakatan yang demokratis, meningkatkan sumber daya manusia yang handal, menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengembangkan dan memanfaatkan komunikasi dan informasi, menjamin kepastian dan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan serta menjamin hak asasi manusia dan persamaan hak bagi setiap warga negara yang merupakan prakondisi dalam mewujudkan tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Kelima, menyelenggarakan kepemerintahan yang baik (good governance), penurunan tingkat kemiskinan, pengelolaan sumber daya air, energi dan sumber daya mineral, kesehatan, pertanian dan keragaman hayati, penataan ruang, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan pendidikan serta pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, maupun pendanaan dan kelembagaan yang merupakan dimensi utama dalam menuju keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan.

Keenam, meningkatkan kemandirian nasional melalui kerjasama kemitraan berdasarkan prioritas nasional dan peran penting para pemangku kepentingan sesuai dengan fungsinya dengan menyadari bahwa Pembangunan Berkelanjutan memerlukan perspektif jangka panjang dan partisipasi masyarakat luas dalam proses pengambilan keputusan di semua tingkatan.

Ketujuh, menjamin bahwa kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam serta keanekaragaman budaya, tetap sebagai perekat bangsa dan modal dasar yang utama bagi tercapainya tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Kedelapan, menurunkan tingkat kemiskinan, mengubah pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan serta mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan untuk mewujudkan keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan yang harus dilaksanakan melalui kepemerintahan yang baik.

Kesembilan,  mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang terdidik dan cerdas, serta memiliki integritas moral dan berkualitas secara merata agar dapat mengerti, memahami dan melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan.

Kesepuluh, mewujudkan komitmen ini dalam pencapaian rencana pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat, khususnya kelompok-kelompok perempuan, pemuda, anak-anak dan kaum rentan.    

Namun demikian, kesepuluh pokok pikiran tersebut masih merupakan idealitas normatif. Dalam tataran realitas objektifnya, bangsa kita masih dihadapkan pada sejumlah masalah lingkungan yang amat pelik. Dalam Enviromental Outlook-nya, Walhi mencatat kasus-kasus lingkungan hidup yang menonjol. Pertama,  masalah kerusakan hutan, seperti kebakaran hutan dan penebangan kayu secara liar (illegal logging) baik dalam skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun skala besar yang dilakukan kalangan industri. Indonesia mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia. Selama periode 1999-2002, laju deforestasi rata-rata 2,1 juta ha/tahun dan saat ini meningkat menjadi 2,4 juta ha/tahun.

Kedua, masalah pertambangan yang menimbulkan berbagai kontroversi, seperti pertambangan emas PT. Freeport yang hingga kini masih menyisakan sejumlah masalah. Demikian pula PT. KEM (Kelian Equatorial Mining) di Kalimantan Timur dan PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara. Perusahaan ini dinilai gagal dalam melakukan pengelolaan tailing sehingga berbuntut sengketa dengan masyarakat setempat seperti pada kasus Buyat.

Ketiga, carut-marutnya pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah sebagai “efek domino” otonomi daerah yang salah kaprah. Namun yang lebih menonjol dalam kaitannya dengan otonomi daerah adalah maraknya perizinan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Dengan dalih kebijakan lokal, “pengkaplingan” hutan seperti ini masih berlangsung hingga kini. Di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, bahkan seorang pejabat bupati telah mengeluarkan sedikitnya 300 izin HPH skala kecil. 

Keempat, pencemaran, baik pencemaran udara maupun pencemaran air. Pencemaran udara dan air menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pencemaran udara umumnya disebabkan oleh emisi buangan kendaraan bermotor. Peningkatan penjualan kendaraan bermotor pada tahun 1999 mencapai 91%, sedangkan pada tahun 2002 mencapai 300%. Dengan sendirinya hal ini akan memberi kontribusi terhadap peningkatan pencemaran udara secara tajam.

Kelima, krisis air yang ditandai dengan menurunnya kualitas dan kuantitasnya. Krisis air kini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat perkotaan, tapi juga oleh masyarakat yang hidup di pedesaan. Pencemaran air akan terus meningkat terutama akibat meningkatnya aktivitas pertambangan dan memburuknya penataan ruang sebagai konsekuensi salah kelola (mis-manajemen) lahan perkebunan dan gagalnya konservasi hutan.

Emil Salim (2001) menilai bahwa sejatinya persoalan-persoalan lingkungan yang amat pelik itu tidak akan terjadi apabila kita melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan secara konsisten. Menurutnya, ada beberapa prasyarat agar sustainabilitas pembangunan berlanjut. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita menyiapkan solusi alternatif yang komprehensif agar konsep ideal Pembangunan Berkelanjutan itu (das sollen) mampu diimplementasikan dalam tataran realitas objektifnya (das sein) secara semestinya. 

 

Beberapa Solusi ke Depan

Ketika Agenda 21 dideklarasikan pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro, banyak pihak berharap persoalan lingkungan hidup akan terselesaikan. Indonesia sebagai salah satu dari 179 negara yang menyetujui “Deklarasi Rio” ini juga berharap untuk dapat mengimplementasikan Pembangunan Berkelanjutan secara signifikan. Untuk merealisasikan harapan ini, ada beberapa hal yang penting diupayakan.

 

 

1. Konsistensi

Meskipun komitmen Rio telah membersitkan harapan dunia bagi perbaikan lingkungan hidup, namun pada kenyataaannya, kerusakan lingkungan hampir tak tertahankan. Di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara belahan dunia ketiga, kerusakan lingkungan terus berlanjut dan diiringi dengan angka kemiskinan yang terus meningkat. Dalam level nasional, Alikodra (2004) menyebutkan fakta kerusakan alam di Indonesia yang semakin mencengangkan. Setiap tahun terjadi kerusakan hutan lebih dari 2,5 juta ha, sementara terumbu karang yang tersisa dalam katagori baik hanya tinggal 6,2%. Penyusutan spesies terus berlangsung karena pemburuan dan perusakan habitat mereka. Pertumbuhan penduduk dunia diprediksi akan terus meningkat dari 6,1 miliar jiwa pada tahun 2000 menjadi 7,5 miliar orang pada tahun 2020. Sebagian besar mereka tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk Indonesia, misalnya, saat ini telah mencapai sekitar 220 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk ini akan diikuti pula dengan meningkatnya konsumsi. Ini semua berarti peluang terjadinya peningkatan degradasi dan pencemaran lingkungan makin besar pula.

Ironisnya, ditemukan pula kenyataan bahwa negara-negara maju yang mengklaim dirinya sebagai penganjur deklarasi “pembangunan hijau” dan “donatur lingkungan hidup” itu justru banyak terlibat dalam perusakan lingkungan hidup lewat kegiatan eksplorasinya di negara-negara berkembang. Beberapa kasus, seperti Freeport di Papua, Newmont di Minahasa-Sulawesi Utara, dan Unocal di Kalimantan Timur memperlihatkan secara jelas peran “tangan-tangan asing” dalam perusakan lingkungan di tanah air. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita untuk berkomitmen secara konsisten terhadap Pembangunan Berkelanjutan. Lebih dari itu, bangsa Indonesia juga harus punya sikap yang tegas untuk memaksa pihak lain --terutama negara-negara maju yang melakukan investasinya di Indonesia--  agar memiliki konsistensi yang sama untuk melaksanakan kesepakatan global tentang  Pembangunan Berkelanjutan secara signifikan.

 

2. Sosialisasi

            Meskipun konsep Pembangunan Berkelanjutan telah dikumandangkan sejak tahun 1980-an, namun gaungnya belum begitu menggembirakan. Wacana Pembangunan Berkelanjutan seakan tersimpan di laci para elit birokrat dan aktivis lingkungan hidup semata. Di kalangan DPR pun, bahkan, wacana mengenai Pembangunan Berkelanjutan masih terdengar asing. Kecuali di Komisi VIII yang membawahi masalah lingkungan hidup, anggota DPR lain hampir tak peduli dengan wacana Pembangunan Berkelanjutan yang sudah menjadi kebijakan nasional ini. Tak heran jika banyak pihak menilai bahwa apresiasi kalangan legislatif terhadap persoalan lingkungan hidup sangat mengecewakan.

            Kalau wakil rakyat yang terhormat saja banyak yang tak peduli dan tak mengerti soal Pembangunan Berkelanjutan, apalagi di kalangan rakyat kebanyakan. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai Pembangunan Berkelanjutan tentu akan berimplikasi pada kualitas hasil yang diharapkan. Dengan kata lain, keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan akan sangat tergantung pada sejauh mana masyarakat memahami konsep ini secara baik. Karena itu, upaya sosialisasi merupakan kata kunci bagi keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan. Dengan sosialisasi yang baik, Pembangunan Berkelanjutan tidak hanya menjadi milik KLH dan aktivis lingkungan hidup semata, tapi seluruh masyarakat akan merasa memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya. 

 

 

3. Partisipasi

Untuk mengimplementasikan kesepakatan global mengenai Pembangunan Berkelanjutan yang termuat dalam Agenda 21, pemerintah Indonesia telah menyusun Agenda 21 nasional dengan memposisikan KLH sebagai institusi induk dalam pengelolaannya. Namun ironisnya, KLH sebagai pengemban implementasi Pembangunan Berkelanjutan terkesan sangat parsial. Ini paling tidak dapat disimak dari dua hal. Pertama, bergesernya universalitas isu Agenda 21 menjadi ‘isu sempit’ yang terbatas pada masalah lingkungan hidup an sich. Kedua, miskinnya partisipasi publik yang dicirikan oleh dominannya peran pemerintah dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan Pembangunan Berkelanjutan. Melalui KLH, negara seolah ingin merebut wacana Pembangunan Berkelanjutan dari ruang publik ke ruang dominasinya.    

Peran yang dijalankan KLH di satu sisi memang memperlihatkan komitmen kuat pemerintah Indonesia terhadap persoalan lingkungan hidup sebagai salah satu elemen vital Pembangunan Berkelanjutan. Namun demikian, memposisikan Pembangunan Berkelanjutan [hanya] dalam lingkup koordinasi KLH seolah mendistorsi orientasi Pembangunan Berkelanjutan pada persoalan environmental dan ecological dimension semata. Padahal, secara inklusif, Pembangunan Berkelanjutan juga memuat economic sustainability dan social sustainability secara terintegrasi. Karena itu, sudah selayaknya pemerintah membuka ruang partisipasi yang luas agar pihak-pihak lain seperti kalangan LSM, akademisi, pegiat lingkungan, dan masyarakat umum lainnya untuk turut merancang konsep dan implementasi Pembangunan Berkelanjutan secara bottom-up.

***

Kebudayaan

Ulasan mengenai sosiologi juga tak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Lalu, apa sebetulnya kebudayaan itu? Banyak referensi yang mengulas seputar kebudayaan. Berikut ulasan dari wikipedia:

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

 

Upacara kedewasaan dari suku WaYaodi Malawi, Afrika.

Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

 

Unsur-unsur

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

§                     Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

§                                 alat-alat teknologi

§                                 sistem ekonomi

§                                 keluarga

§                                 kekuasaan politik

§                     Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

§                                 sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya

§                                 organisasi ekonomi

§                                 alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)

§                                 organisasi kekuatan (politik)

 

Wujud dan komponen

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

§                     Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

§                     Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

§                     Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

 

Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

§                     Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

§                     Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

 

Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

§                     alat-alat produktif

§                     senjata

§                     wadah

§                     alat-alat menyalakan api

§                     makanan

§                     pakaian

§                     tempat berlindung dan perumahan

§                     alat-alat transportasi

 

Sistem mata pencaharian hidup

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

§                     berburu dan meramu

§                     beternak

§                     bercocok tanam di ladang

§                     menangkap ikan

 

Sistem kekerabatan dan organisasi sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

 

Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakanintegrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Kesenian

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

 

Sistem kepercayaan

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[1]

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

 

Filosofi dan Agama dari Timur

Filosopi dan Agama seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China dan menyebar disepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi.

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.

Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.

Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari China, mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.

Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

 

Agama tradisional

Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

 

]"American Dream"

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [2] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),[3] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

 

Pernikahan

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

 

Sistem ilmu dan pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

§         pengetahuan tentang alam

§         pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya

§         pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia

§         pengetahuan tentang ruang dan waktu

 

Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschmanmengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1.        tekanan kerja dalam masyarakat

2.        keefektifan komunikasi

3.        perubahan lingkungan alam.[4]

 

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnyazaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

 

Penetrasi kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

 

Penetrasi kekerasan (penetration violante)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?].

 

 

Kebudayaan sebagai peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

 

Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi idekebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

 

Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

 

Kebudayaan di antara masyarakat

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

§         Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

§         Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

§         Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

§         Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

 

Referensi

1.        ^ Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, p. 488.

2.        ^ Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.

3.        ^ Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation".

4.        ^ O'Neil, D. 2006. "Processes of Change".

 

Daftar pustaka

§     Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.

§     Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl Identities. University of Michigan Press.

§     Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.

§     Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29164-4

§     Cohen, Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New York,

§     Dawkiins, R. 1982. The Extended Phenotype: The Long Reach of the Gene. Paperback ed., 1999. Oxford Paperbacks. ISBN 978-0-19-288051-2

§     Forsberg, A. Definitions of culture CCSF Cultural Geography course notes. Retrieved: 2006-06-29.

§     Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York. ISBN 978-0-465-09719-7.

§         Goodall, J. 1986. The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-11649-8

§         Hoult, T. F., ed. 1969. Dictionary of Modern Sociology. Totowa, New Jersey, United States: Littlefield, Adams & Co.

§         Jary, D. and J. Jary. 1991. The HarperCollins Dictionary of Sociology. New York: HarperCollins. ISBN 0-06-271543-7

§         Keiser, R. Lincoln 1969. The Vice Lords: Warriors of the Streets. Holt, Rinehart, and Winston. ISBN 978-0-03-080361-1.

§         Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum

§         Kim, Uichol (2001). "Culture, science and indigenous psychologies: An integrated analysis." In D. Matsumoto (Ed.), Handbook of culture and psychology. Oxford: Oxford University Press

§         Middleton, R. 1990. Studying Popular Music. Philadelphia: Open University Press. ISBN 978-0-335-15275-9.

§         Rhoads, Kelton. 2006. The Culture Variable in the Influence Equation.

§         Tylor, E.B. 1974. Primitive culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. First published in 1871. ISBN 978-0-87968-091-6

§         O'Neil, D. 2006. Cultural Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department, Palomar College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.

§         Reagan, Ronald. "Final Radio Address to the Nation", January 14, 1989. Retrieved June 3, 2006.

§         Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. New Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.

§         UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.

§         White, L. 1949. The Science of Culture: A study of man and civilization. New York: Farrar, Straus and Giroux.

§         Wilson, Edward O. (1998). Consilience: The Unity of Knowledge. Vintage: New York. ISBN 978-0-679-76867-8.

§         Wolfram, Stephen. 2002 A New Kind of Science. Wolfram Media, Inc. ISBN 978-1-57955-008-0

 

 

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan